Selasa, 18 Maret 2008

KUCERMI ( Kumpulan Cerpen Kami )

"kanggo aranjeun anu teu acan pernah uninga' carpo-carpon anu hararade! abi salaku wakil SMPN 1 CIAWI nyayogikeun kanggo anjeun carpon-carpon nu hade<< mangga tingali"


PILIHAN BYAN

Kereta terakhir dari Gambir mengantarnya ke Pekalongan yang sedang dirundung hujan deras. Di awal malam, Adinia memanggil salah satu tukang becak di ujung jalan, yang datang tergopoh-gopoh mendorong tiga rodanya. Plang “Gg.Banjar” masih terbaca, ia pun turun di daerah Kampung Arab itu, menyusuri jalan sampai rumah. Becak Pekalongan besar, tidak muat masuk ke dalamnya. Air hujan langsung mengguyur seluruh tubuh, sekaligus melarutkan benak yang kosong.

Dalam selimut hujan ia memperhatikan rumahnya. Lampu kuning di teras menyala suram, tapi dari dalam rumah terdengar gelak tawa Ibu yang ngangenin. Adinia bisa melihat mereka dari luar, lewat kaca bening yang tak tertutup tirai. Ibu sudah mulai pelupa rupanya. Empat tahun lalu beliau masih mengomel apabila si Bibik belum menutup tirai jendela lewat jam enam sore.

Di satu dimensi, Jun menggantung semua mimpinya. Mimpi yang terkadang hanya ilusi di padang sahara. Delusi yang siap menghempaskan ia ke jurang terdalam sekalipun. Jun tahu semua itu, tapi toh ia tetap menggantung mimpi itu di kerlipan bintang malam. Entah sejak kapan, Jun tak mengerti, ia menggantung semua angan kosong itu pada satu sosok yang ada namun tiada, yang hanya siluet diantara bayang jingga.

Jam pasir berbalik, putarkan semua pusaran ingatan Jun kembali kesaat dimana ia mendapati Zen di dimensinya.

DIMENSI DY

Aku menatapnya, kubiarkan bulir-bulir kristal itu mengalir di pipinya. Kutunggu detik detik berlalu, uapkan kristal bening itu.

“Kau sudah puas?” tanyaku akhirnya. Dia hanya mengangguk

“Dy, emang punya rasa kayak gini sakit banget yah? Apa jatuh cinta itu salah? Aku nggak mo lagi punya rasa kayak gini” seribu tanda tanya mnyerangku

“Si brengsek itu lagi!” umpatku kesal. Entah sudah berapa kali aku melihat gadis mungil ini menangis hanya karena cowok brengsek yang bahkan tak pernah kulihat wajahnya. Andai saja aku bisa, ingin rasanya kutembus dimensi ini untuk menghajarnya.

“Apa yang dilakukannya padamu?”

RISA DAN IMPIAN-IMPIANYA

….inspired from someone’s experience….

Impiannya adalah membaca jutaan buku. Saat dia menceritakannya padaku, dia tersenyum dengan mata berbinar indah dibalik kacamata berlensa tebalnya.

“Suatu hari nanti, aku akan menjadi orang yang paling banyak membaca buku! Aku akan mengingat semuanya dan menceritakannya pada seluruh dunia!”

Namanya Risa. Teman masa kecilku yang sangat kukenal. Tidak seperti anak kecil lainnya yang lebih memilih permen dan boneka, Risa sudah memeluk buku sejak umurnya empat tahun. Ibunya, yang juga teman baik Ibuku, yang menceritakan ini padaku.

AKHIR SEBUAH PENGHIANATAN

Mitha menghela nafasnya untuk yang kesekian kali. Ada hawa panas yang mengalir didadanya menyesakkan aliran nafasnya. Gadis itu hanya menjerit lirih dalam kebisuannya.

“Aku ga percaya kamu bisa melakukan semua ini,”ucap Mitha lirih.

Rifky menatap dalam mata gadis itu, gadis yang telah mengisi kehidupannya selama tiga tahun terakhir ini. Gadis yang tak ingin dia lihat sedikitpun menitikkan air mata, tapi dialah kini yang membuat gadis itu mengucurkan air mata.

“Kenapa kamu diam?? Apa kamu merasa menyesal?? Ga perlu!!”kata Mitha sinis.

“Sorry Mit, aku memang ga pantas untuk dimaafkan.Aku hanya ingin kamu tau semua itu terjadi di luar kesadaran kami. Kita berdua sedang mabuk,dan….”

THE WHO REMEMBER MY NAME?

Matanya coklat hazelnut. Senyumnya yang terkembang memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Saat dia menoleh dan berjalan mendekat, wangi colognenya yang maskulin membuatku tak tahan untuk menghirup napas dalam - dalam ( dimana sih dia beli cologne itu?? wanginya enak banget )

Poninya yang mulai panjang jatuh ke wajahnya saat dia menunduk untuk menatapku dan dia menyibakkannya dengan cepat. Helaian rambut hitam kecoklatan itu kembali ke tempatnya semula. Masih sambil tersenyum, dia bertanya dengan suara bass nya yang khas.

“Udah ngerjain PR?”

“Hmm..” aku merogoh tasku dan mengeluarkan sebuah buku tulis bersampul, “ini.”

KUDA BESI

Seseorang sedang mencoba menggelitikku agar aku segera terbangun, segera hidup, untuk segera menunaikan tugasku. Dengan terpaksa akupun terbangun. Kukedipkan seluruh mataku. Tiga di depan, dan tiga di belakang. Mungkin kalian bingung, tapi baiklah aku jelaskan. Sebenarnnya aku baru saja terbangun. Tapi mungkin aku terlahir beberapa bulan yang lalu, dan baru bangun sekarang. Saat seorang mekanik menghidupkanku karena aku telah terpilih menjadi kuda besi tunggangan. Majikanku seorang yang masih muda. Dia melihat-lihat diriku, sepertinya dia mengagumiku. Tangan-tangan mekanik terus saja menggerayangiku agar aku menggerakkan seluruh otot-otot syarafku. Setelah diberi oli, santapan bulananku, dan bensin, sarapan harianku, akhirnya seluruh syaraf-syaraf tubuhku berfungsi. Aku siap ditunggangi dan digeber oleh majikanku. Pemilikku seutuhnya.

ISTIKHARAH YANG PATAH

Masih dalam senyap. Nyanyian subuh berkumandang tanpa keluh.Sedangkan Jibril sedang bertamu membawa titipan sebuah “keselamatan”. Ia kukuhkan pada sebuah tubuh. Selepasnya lalu beranjak pulang, terbang, lalu hilang.
Tubuh yang terkulai itu mulai merasakan hawa “selamat” yang dikukuhkan Jibril. Jemarinya perlahan bergerak, lambat-lambat sepasang matanya terbuka.
“Di mana ini?” dadanya penuh tanda tanya, ia hendak beranjak.
“Aakkhh..apa yang terjadi padaku?” ia mengerang dan kembali terkulai karena rasa remuk memeluknya. Erangannya cukup membangunkan seseorang yang tertidur di bangku sebelah ranjangnya.
“Alhamdulillah..Luqman, kamu sudah sadar?” tanyanya sembari menggosok mata.
“Di mana aku, Paman?” masih bertanya dan kembali matanya menyapu tiap penjuru ruangan.
“Kamu di rumah sakit, Man! Sudah dua hari kamu tak sadarkan diri!”
“Dua hari??” ia terheran.
“Syukur, kamu selamat dari kecelakaan itu, Man!”
Luqman tak lagi bertanya, kini ingatannya ada dihadapannya dan cukup menjawabnya.
“Sudah, sekarang kamu jangan banyak bergerak. Paman panggilkan dokter dulu!” pamannya bergegas.
Lembar ingatan Luqman terbuka. Ia membaca lagi apa yang ia alami.
***
Dalam naungan malam, dengan jilbab hitam yang alam kenakan, seakan mengiring semua yang terjaga untuk masuki alam mimpi. Tapi tidak untuk seorang Luqman yang sedang berduka asa. Jalanan begitu sepi, semuanya seperti telah mati, begitu pikir seorang Luqman yang patah hati.

BISIK

Di atap jakarta, siang itu matahari sedang jumawa-jumawanya penuh pongah sinar tatapannya.
“Wan, sebentar lagi kereta datang, kita siap-siap!” seseorang berbisik pada teman di sebelahnya.
“Ini akan berhasil? Aku khawatir!” ia bertanya dengan gugup gemetar, “aku belum pernah melakukannya!” sambungnya.
“Aahh.. lu jangan payah gitu, Wan! Tenang aja, ada gue. Lama-lama lu bakalan bisa.
“Man, kamu sudah lama kerja kayak gini?” masih bertanya, dengan tatap mata penuh sangsi, memperhatikan sosok teman yang baru dua minggu dikenalnya.
“Gue tuh sudah lama kerja kayak gini, jadi udah pengalaman.”
“Kamu nggak takut?”
“Yaa.. kayak lu itu, pertama sih takut.”
“Wwuuss..” kereta ekonomi Jakarta-Bogor yang telah dikerumuni tepat berhenti di depan mereka, memberhentikan pula percakapan mereka.
”Wan, ayo!” Herman mengais lengan temannya yang sedari tadi memikirkan keraguannya. Di dalam kereta mereka terpaku diam, sesekali berbisik.
”Wan, kereta sedang penuh, ini kesempatan!” bisik herman dengan muka mendekati telinga si Wawan.
Dalam keramaian dan menyusup di antara kelengahan, Herman mulai beraksi. Jemarinya menari lincah. Satu dompet, dua dompet telah berpindah kuasa, lalu ia simpan dalam tas yang ia kaiskan di depan dadanya. Sedangkan si Wawan memperhatikan temannya dari jarak tiga meter dengan rasa kepengecutan yang benar namun terkikis. Berkecamuk ragu dihadang bimbang, akhirnya si Wawan pun menekat-nekatkan diri dengan berbekal teori-teori yang dibekalkan Herman. Matanya belajar liar mengamati lengah seseorang di depannya. Jarinya bergetar mengikis kisi-kisi iman.

A SING WHEN RAINY

Tidak!… Aku benci semua ini!… Kata-kata itu sangatlah menusuk hatiku! Tak pernah kurasakan perasaan ini yang kian lama kian menyakitkan membuat duka nestapa yang berdarah. Merasa kalut, sedih dalam kesendirian. Kini, ku bingung tak tahu arah harus melangkahkan kaki ke mana???
Bulir air mata menetes satu persatu membentuk cipratan ke dalam dasar kalbu. Semua semakin tak terarah, tak ada orang yang peduli denganku!
Mengapa semua pergi meninggalkanku! Tiada pernah peduli. Tiada ingin tahu apa yang kurasakan. Apa menurut mereka rumah mewah dan fasilitas adalah jawabannya? Mengapa? Mengapa?
Tanpa komando dari siapapun ku hanya melangkahkan kaki tak tahu arah, mengikuti kemana langkah kaki ini mau menuju, dan tanpa disangka-sangka ku berada di sebuah taman yang telah tak terawat. Tanpa peduli kumasuki taman itu. Indah! Namun, sayang mengapa sebagian taman ini telah rusak.
Dengan iba akhirnya kurawat taman tersebut. Tanpa diduga kini, semua rasa sedihku telah lenyap terhapus dengan keindahan alam yang terbentang luas menandakan KeMaha Kuasaan-Nya. Sehingga kini, tak disangka sebulan pun telah berlalu.
Bagaimana tidak ku merasakan ketenangan ini? Karena rasa sedihku telah terhapus dengan keindahan tiada
tara. Setiap sore ku datang ke taman ini ‘tuk bersenandung menikmati alam yang begitu bersahabat denganku tiada pernah membuatku bersedih ataupun resah. Tidak seperti ku berada di rumah yang serasa memenjarakanku.
Baiklah, kurasa lebih baik kulupakan sejenak saja perasaan yang hanya membuat putus asa. Kini, hujan turun rintik-rintik. Ku duduk di atas bongkahan batu besar seraya memandang lukisan alam yang tak mampu seorangpun menandinginya. Ini adalah ciptaan “Sang Pendekor Besar” Yang Kuasa memperindah segalanya.
Sayup-sayup malam pun mulai terdengar mengantarkan sebagian orang untuk melepas lelah sesaat setelah sibuk seharian.
“Lihat, dasar ibu gak berguna! Anak belum pulang. Keluyuran gak jelas sampai malam begini gak diurusin!”
Malam itu seorang laki-laki paruh baya, murka tak dapat mengendalikan emosi.
“Ampun, Pak. Aku sudah cari Dinda ke mana-mana. Namun, tak ada hasilnya,” seorang ibu paruh baya pun bersimpuh di hadapan suaminya. “Iya, kamu bukan mencari anak itu. Tapi, hanya sekadar keluyuran doang!!”
“Tapi, Pak…”
“Saya tidak mau tahu, kamu harus cari anak tersebut!” ucap lelaki itu dengan mata berkilat-kilat. Terlihatlah di rumah tersebut bagaikan tempat adu pendapat yang tak terselesaikan. Hujan lebat disertai petir menyambar-nyambar membentuk sebuah simfoni yang tak beraturan.
Dari balik pintu seorang gadis remaja masih mengenakan pakaian sekolah dengan rambut dikepang dua, basah kuyup terguyur hujan seraya mengendap-ngendap masuk.
“Bagus, lampu telah mati. Pasti Ayah dan Bunda telah tidur.” Ia langkahkan kakinya memasuki rumah yang mewah, yang baginya hanyalah memenjarakan dirinya. Tanpa disangka, dengan tiba-tiba lampu menyala dan dihadapannya seorang lelaki paruh baya bertubuh tegap berdiri tepat di hadapan gadis tersebut.
“Dari mana saja kamu?” Hanya kata itu yang dilontarkan lelaki itu tanpa aba-aba ia menampar putrinya. Sehingga tersungkurlah gadis tersebut. Tiada kuasa untuk mengeluarkan kata-kata, ia hanya mampu menangis.
Waktu pun, bergulir dengan cepat. Lelaki paruh baya itu mengusir istri dan putrinya. Tanpa arah tujuan ditemani rintik hujan mereka pun melangkah.
Sore hari yang mendung semakin muram. Terlihat seorang gadis terduduk lesu diatas batu seraya bersedih.
Sementara, di sebuah gubuk kecil dekat batu tersebut ada seorang ibu paruh baya sedang menyulam. Ibu itu terlihat letih. Namun, wajah ayunya masih terlihat jelas walau kelelahan hidup telah menderanya. Suasana begitu hening.
Dari keadaan muram. Tiba-tiba saja terdengar suara yang begitu indah dan merdu. Bagi yang mendengarya tentu akan merasa kagum seraya menikmati indahnya alam. Tiada lama kemudian, turunlah rintik-rintik hujan dan semakin lama semakin lebat. Buru-buru gadis yang terduduk di atas batu pun berlari memasuki sebuah gubuk kecil seraya tersenyum dengan ibunya.
Di lain tempat, seorang laki-laki paruh baya terduduk lesu di atas sebuah kursi roda meratapi nasib diri. Yang kini, sendiri tiada ditemani seorang keluargapun. Di sana tertata apik barang-barang mahal, rumah dengan ruangan yang besar. Namun, hanya dihuni seorang laki-laki paruh baya dan kedua orang pembantu yang masih setia dengan majikannya.
Laki-laki tersebut sungguh menyesal karena telah mengusir istri dan putrinya. Tanpa pernah ia memperdulikan keluarganya. Ia selalu menuruti hawa nafsunya.
Sore yang mendung membuat keadaan di sekitar dingin. Seorang laki-laki paruh baya tertidur lesu di atas ranjang mahal, ia sendiri tiada orang yang menemaninya. Keadaannya semakin parah, demam yang tinggi. Tiba-tiba saja nafasnya sesak tiada lama nafasnya tiada kembali kepada sang peminjam. Karena telah kembali kepada Sang Pemilik yang sesungguhnya…